their stories

Purwita Wijayanti
Perjuangan yang telah di lewati Purwita Wijayanti telah usai. Wanita hebat itu telah berbulan-bulan berjuang melawan kanker serviks yang di deritanya. Pengalaman yang paling tidak mengenakan menurutnya adalah ketika ia harus melakukan terapi radiasi yang membuat sekujur perutnya terasa panas dan gatal, seperti gosong katanya.
​
Nafsu makan Purwita pun menurun saat menjalani hari-hari beratnya melawan kanker ganas itu, tetapi demi putri dan keluarganya ia pun melakukan semampunya untuk tetap mengonsumsi makanan agar terpenuhi asupan gizi.
​
Purwita yang akrab dipanggil Ita pun bercerita pengobatan dijalaninya selama empat bulanan, yaitu sejak September hingga Desember. Setiap Senin-Jumat dia harus menjalani terapi sinar luar dan kemoterapi. Selama itu, terapi sinar luar dilakukan sebanyak 25 kali, kemoterapi lima kali dan terapi sinar radiasi dalam tiga kali.
​
Ditengah ekonomi yang pas-pas an, suami Ita, Glenn terus menyemangati istrinya yang sedang berjuang melawan ganasnya kanker serviks, dengan senyuman yang ia selalu tampilkan didepan istrinya. Tapi, tak dapat dipungkiri bahwa Ita sesekali mendengar suaminya menangis bersembunyi di kamar mandi.
​
Kini, Ita telah bebas dari kejam nya penyembuhan kanker serviks. Ia memberikan masukan serta semangat bagi perempuan-perempuan diluar sana yang sedang berjuang seperti apa yang telah ia lewati kala itu. “Tak perlu malu untuk PAP Smear dan Vaksin HPV, uang kalah pentingnya dengan keluarga yang kita punya” ujarnya.
By Devrisca Audina Putri
http://srabilor.blogspot.co.id/2015/05/kisah-ita-melawan-ganasnya-kanker.html

Evie Trefina adalah perempuan berumur 69 tahun yang mengetahui dirinya menderita kanker serviks stadium 3B sejak sekitar enam tahun lalu. Setelah menjalani delapan kali kemoterapi, 25 kali radioterapi eksternal dan tiga kali radioterapi internal, ia memutuskan untuk berserah diri. Dia mengaku, sebanyak Rp20 juta harus dikeluarkannya untuk sekali kemoterapi. Biaya yang semakin membengkak membuatnya memilih untuk tidak melanjutkan kemoterapi. Namun, hal itu didasarinya dengan percaya akan kesembuhan.
​
Awal diagnosanya yang dirasakannya adalah Evie tidak mengalami rasa sakit sedikitpun sebelum dirinya divonis kanker serviks. Setelah enam bulan mengalami keputihan yang berlebihan, dirinya pun mengalami pendarahan. Saat itulah, dia memeriksakan dirinya ke dokter. Lalu ia melewati proses pengobatan seperti setiap Senin, dirinya menjalani kemoterapi dan radioterapi. Kemudian, dia akan kembali ke rumah sakit untuk kontrol setiap Jumat.
Tak urung, dirinya pun harus menerima transfusi darah sebelum kemoterapi berlangsung karena hemoglobinnya di bawah 10. Dirinya berusaha tidak stres untuk menjaga imunitasnya terus baik. Imunitas tersebut menjadi penting karena dapat menghancurkan sel kanker yang beredar di tubuhnya. Bahkan, dokter pun tidak memberikan pantangan apapun untuk asupan makanannya. Dia terus membuat dirinya merasa lebih baik untuk melupakan sakit yang dialaminya. Tak hanya itu, dirinya terus bersyukur dengan apa yang dia terima saat ini. Bahkan, kegiatan bertemu dengan sesama pengidap kanker pun dilakukannya bersama paguyuban yang dia ikuti yakni, Paguyuban Pelangi.
​
​
by Jovanka Rossa
Evie Trefina
Azura Eveline
Azura Eveline adalah seorang perempuan yang tumbuh di keluarga yang kurang harmonis. Mulai usia remaja awal, dia mulai merasakan ketidak harmonisan yang ada pada keluarganya. Kata ‘broken home’ selalu muncul dibenaknya ketika dia sudah mulai menginjakkan kakinya ke bangku SMA. Kadang, bebas hanya dia dapatkan saat melamun menatap papan tulis kosong di kelasnya selama beberapa menit. Stress yang ia pendam dari tahun-tahun pertama pun mulai melonjak. Sampai pada akhirnya Azura merasakan hal yang janggal terjadi pada siklus menstruasinya. Sehari setelah menstruasi Azura selesai, ia menemui dirinya yang bangun dari tempat tidur dengan darah yang sudah merembes ke celana dan selimutnya.
​
Diam-diam Azura ditemani Oline teman baiknya, pergi untuk memeriksakan kesehatannya ke Rumah Sakit. Azura dan Oline di buat terkejut oleh diagnosis dokter yang mengatakan bahwa Azura mengidap kanker serviks stadium dua. Ya, tak salah lagi bahwa hal itu terjadi dikarenakan oleh stress yang di alami Azura selama ini. Satu-satunya cara agar Azura dapat sembuh adalah operasi pengangkatan rahim, yang merupakan sebuah momok yang mengerikan untuk para perempuan. Bayangkan apa yang ada di benaknya saat itu.
​
Azura pun terpaksa untuk menceritakannya kepada orang tuanya mengenai penyakit yang dapat merenggut nyawanya. Tanpa berpikir lama, orang tua Azura menyetujui pengangkatan rahim buah hatinya demi dapat terus bersamanya.
​
Hari yang ditakuti itu akhirnya tiba, proses operasi pengangkatan rahim Azura dimulai sejak pagi pukul 08.00 yang membuat Azura harus memboloskan diri dari perkuliahan. Oline sahabat yang ada dari awal pemeriksaan pun hadir menemani dengan senyum yang ia berikan sebagai dukungan untuk Azura. Begitu juga dengan Erick kekasih Azura yang setia hanya dapat menunduk terdiam.
​
Proses operasi itu berjalan dengan lancar dan Azura benar-benar menyadari bahwa dia sudah tidak seperti perempuan selayaknya. Walau sempat down selama bertahun-tahun dengan kondisi yang seperti itu, Azura dapat bangkit kembali ketika Erick mengatakan bahwa ia ingin terus bersama Azura. Erick melamarnya malam itu.
​
Tiga hari setelahnya, mereka melangsungkan pernikahan dengan bahagia yang menanti mereka hingga sepanjang masa.
By Devrisca A. Putri
http://sweetyripe.blogspot.co.id/2013/04/cerpen-kisah-seorang-penderita-kanker.html